Review Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia

Buku ini cukup lengkap dan rinci, sayangnya saya tidak menemukan detail tentang kehidupan Sukarno saat masih kost di rumah HOS Cokroaminoto di Surabaya.

Terutama hubungan dengan teman sekostannya yang akhirnya memiliki pandangan yang berbeda tentang ideologi berbangsa dan bernegara.

Berikut adalah 5 pelajaran yang dapat saya ambil hikmah dari membaca buku ini:

1. Bahasa Indonesia

Pada tanggal 28 Oktober 1928 Sumpah Pemuda menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bangsa Indonesia telah mengukuhkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Bahkan hingga saat ini, masih ada negara yang tidak memiliki bahasa persatuan dan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa resminya.

2. Pemuda harus berfikir, berbicara, dan bertindak dengan cermat agar semangat mereka tidak terbuang sia-sia.

Beberapa hari menjelang proklamasi, para pemuda menculik Sukarno ke Rengasdengklok untuk mengamankannya dari revolusi besar yang diperkirakan akan terjadi di Jakarta.

Namun, ternyata tidak terjadi apa-apa.

3. Untuk memulai sesuatu yang besar tidak perlu yang sempurna. Yang paling penting adalah waktu yang tepat.

Indonesia memulai pemerintahannya dengan pulpen pinjaman, kertas sobekan, mikrofon rampasan, dan bendera yang dikibarkan tanpa upacara pengibaran bendera sebagaimana mestinya.

Acara tersebut hanya dihadiri sedikit orang di pekarangan sempit. Tidak ada pesta atau perayaan apapun.

Namun, itu terjadi pada hari Jum’at, di bulan Ramadan. Hari dan bulan yang istimewa bagi umat Islam.

4. Berbeda pemikiran atau pendapat itu wajar, selama memiliki tujuan yang sama.

Selama pergerakan kemerdekaan Indonesia, para pendiri bangsa Indonesia tidak memiliki satu pemikiran yang sama.

Mereka berangkat dengan gagasan masing-masing, tetapi dengan tujuan yang sama, Indonesia merdeka.

5. Tidak peduli seberapa baik sistem yang Anda buat, sistem tersebut masih membutuhkan manusia untuk berfungsi.

Beberapa tokoh berpendapat bahwa perlu mempersiapkan sistem terlebih dahulu sebelum menjalankan pemerintahan sendiri.

Namun, untuk membuat sistem yang baik, diperlukan waktu yang lama.

Sementara rakyat sudah lama menderita, diperlukan sosok (manusia) yang bisa membangkitkan semangat mereka untuk meraih kemerdekaan.

Dan 3 hal yang menarik perhatian saya karena masih relevan bahkan setelah Indonesia merdeka:

1. Hollands denken — cara berpikir Belanda (Hal. 319-320)

Apa yang baik di luar negeri tidak selalu cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Jadi, tidak perlu mem-belanda-kan Indonesia. Dan cara-cara luar negeri lainnya.

2. Multipartai (Hal. 320-321)

”Partai-partai politik tumbuh seperti rumput liar dengan akar yang dangkal…”.

”Perdebatan bertele-tele tanpa hasil, saling menghancurkan, berlomba-lomba mengejar kedudukan, memfitnah, mencaci-maki, melontarkan kritik-kritik yang mematikan, itulah buahnya. Setiap suara menuntut agar didengar.”

”Setiap tokoh politik mengimpikan “gedung yang indah”, tetapi bagaimana membangunnya —itulah yang tidak mereka ketahui.”

3. Korupsi (Hal. 353)

Indonesia tidak kekurangan orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam bidang apapun.

Namun, entah mengapa, ketika berurusan dengan kekuasaan dan uang, mereka menjadi kalap.

Sebagai penutup, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip ucapan Robert Langdon dari film Angels and Demons:

”Oh, jeez, you guys don’t even read your own history, do you?”

Beli buku atau baca review buku lainnya.


Laman ini mungkin memuat tautan afiliasi, pembelian via tautan tersebut berarti mendukung saya untuk terus berkarya. Selengkapnya baca pengungkapan afiliasi.


Tinggalkan komentar